masukkan script iklan disini
Medan, 26 Mei 2025– Komitmen penegakan hukum kembali dipertanyakan. Hingga kini, laporan resmi yang diajukan Edi Sipayung, SH kepada Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dalam penguasaan lahan seluas 7,2 hektar di Kabupaten Deli Serdang, belum juga ditindaklanjuti. Laporan tersebut terdaftar dengan Nomor: STTPLP/B/1280/IX/2024/SPKT/POLDA SUMATERA UTARA.
Padahal, laporan ini menyangkut dugaan keterlibatan oknum aparat penegak hukum dan pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Deli Serdang dalam kasus yang dinilai sarat pelanggaran hukum. Tanah yang disengketakan berada di Jalan Pertempuran Pasar 3-4 Helvetia, Kecamatan Labuhan Deli, dan kini telah berubah menjadi kawasan perumahan mewah setelah digusur oleh pihak PTPN II.
“Kami sudah sampaikan laporan secara resmi dengan bukti dan dasar hukum yang lengkap. Tapi sampai sekarang, tidak ada satu pun perkembangan atau tindak lanjut dari pihak kepolisian. Ini sungguh mengecewakan,” ujar Edi Sipayung kepada media.
Kasus bermula dari penerbitan surat oleh BPN pada tahun 2017 yang kemudian berujung pada sengketa kepemilikan tanah. BPN sempat mengeluarkan Surat Pemblokiran No. HP.02.01/936-12/07/2023 tertanggal 29 Mei 2023, namun anehnya, blokir itu hanya berlaku selama 30 hari sejak 16 Juni 2022—jangka waktu yang tidak masuk akal dari sisi hukum.
Lebih jauh, dalam proses persidangan terungkap bahwa telah diterbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 108 di atas lahan yang masih bersengketa. Fakta ini memperkuat dugaan adanya penyalahgunaan wewenang dan praktik mafia tanah yang melibatkan lembaga negara.
Namun hingga rilis ini disusun, laporan yang diajukan Edi Sipayung masih "mandek" di meja kepolisian. Tidak ada pemeriksaan lanjutan, pemanggilan saksi, maupun informasi resmi terkait perkembangan penyidikan. Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas?
Edi menduga, ada intervensi kuat dari pihak-pihak berkepentingan yang mencoba menghambat proses hukum. Ia menegaskan tidak akan mundur dan akan membawa kasus ini ke jalur hukum tertinggi, termasuk melibatkan lembaga pengawas eksternal seperti Komnas HAM, Ombudsman, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Jika laporan masyarakat yang sah saja diabaikan, bagaimana rakyat bisa percaya pada hukum? Kita tidak sedang mencari sensasi, tapi menuntut keadilan atas hak yang dirampas,” tegasnya.
Kasus ini menjadi cermin buram penegakan hukum di daerah, di mana laporan dengan bukti kuat bisa diabaikan tanpa penjelasan. Masyarakat pun didorong untuk ikut mengawasi proses ini dan menolak segala bentuk pembiaran terhadap praktik penyimpangan wewenang yang merugikan rakyat kecil.(Gajah)